Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar dengan berjuta-juta kekayaan terkandung di dalamnya. Ada lirik lagu berbunyi “orang bilang tanah kita tanah surga”, nampaknya lirik itu seperti terasa benar adanya. Berbagai kekayaan alam terbentang luas di negeri kita. Dengan kekayaan ini potensi perpecahan pun bisa muncul dan hal ini perlu diredam dengan yang dinamakan toleransi. Suku Dani yang mendiami Lembah Baliem di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua sangat menjaga keberagaman dan toleransi beragama, sejak nenek moyang ada. Sebut saja, sebelum ajaran islam masuk, di Lembah Baliem sudah ada penganut kristen protestan dan katolik. Balai Arkeologi Papua menyebutkan agama islam masuk di Lembah Baliem sekitar tahun 1964. Saat itu, penyebaran ajaran islam yang dibawa nenek moyang, mengajarkan masyarakat di Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya belajar agama islam.
Dalam penelitian Hari Suroto, arkeolog
dari Balai Arkeolog Papua menyebutkan
masyarakat Walesi yang beragama islam, hingga kini masih mempertahankan tradisi
dari pegunungan tengah Papua, misalnya tradisi barapen atau
bakar batu yang biasa dilakukan dalam menyambut ramadhan. Bedanya, selama ini
dalam bakar batu identik menggunakan daging babi. Oleh masyarakat di Walesi
diganti menggunakan ayam. Pelajaran berharga yang dapat diambil dari kehidupan
beragama di Lembah Baliem adalah rasa toleransi beragama yang tinggi. "Selain
itu budaya tradisional masih dipertahankan," katanya, Rabu (4/3/2020).
Muslim Papua di Lembah
Baliem berkonsentrasi di Distrik Walesi. Pada lokasi itu terdapat sebuah masjid
dan pesantren. Anak-anak yang berada di dalam pesantren kebanyakan
berasal dari daerah pegunungan Papua. Ada yang sengaja dititipkan oleh orangtua
untuk menimba ilmu, ada juga anak-anak yang tak mengenal orangtuanya sekali
pun. Walau begitu, kehidupan di Walesi sangat kental dengan kekerabatan antar
agama. Sekitar 200-an meter dari pesantren, terdapat gereja dan SD Katolik.
Sebelum, ada pesantren yang didirikan 1984, anak-anak muslim Walesi bersekolah
di SD Katolik. Jam belajarnya dilakukan secara bergantian dengan murid yang
beragama katolik.
Abu Asso, tokoh pemuda Walesi mengakui kekerabatan dan toleransi antar agama di Lembah Baliem sangat tercipta dengan baik. Abu mengaku masih banyak keluarga dekatnya berbeda agama, namun tetap saling menghormati. "Termasuk jika ada acara barapen, keluarga kami yang muslim atau nasrani memahami satu sama lainnya. Jika ada makanan olahan dari daging babi, akan dipisahkan untuk kami yang beragama muslim dan kami akan menyantap ayam, atau sebaliknya," jelas Asso.
Kekerabatan antar agama juga terjalin baik. Misalnya jika hari raya besar
keagamaaan. Justru pada hari raya muslim atau nasrani, keluarga dapat
berkumpul, silaturahmi dan berbagi cerita bersama. "Toleransi di Lembah Baliem sangat
baik dan kami semua bersaudara," jelas Abu yang saat ini duduk menjadi
anggota DPR Papua.
Asal Usul Penyebutan
Suku Dani
Lembah Baliem terletak pada ketinggian 1500 hingga
1700 meter dari permukaan laut. Karena kecantikan alam dan keberagaman
budaya yang dimiliki, setiap setahun sekali pada bulan Agustus diadakan
Festival Budaya Lembah Baliem. Festival yang sudah terjadwal, mengundang banyak
wisatawan mancanegara dan lokal berkunjung ke daerah ini.
Hari Suroto menyebutkan pada
zaman kolonial Belanda, lembah ini diberi nama Grote Vallei atau
Lembah Besar. Masyarakat yang tinggal di Lembah Baliem menyebut dirinya
orang Hubula atau orang Balim, akhuni Palim meke.
Mengapa orang Baliem disebut orang Dani? Kemungkinan besar, nama itu berasal
dari tim ekspedisi Richard Archbold, seorang warga Amerika Serikat. Pada tahun
1938 – 1939, Richard berkunjung ke bagian barat pegunungan tengah Papua. Ketika
itu, dia bertemu dengan masyarakat yang menyebut dirinya orang Dani.
Penelusuran Hari,
istilah Dani berasal dari ndani, yang berasal dari bahasa
Moni yang berarti sebelah timur matahari terbit. Suku Moni tinggal di
pegunungan sebelah barat Lembah Baliem, istilah ndani sering digunakan
untuk menyebut orang atau masyarakat yang tinggal di sebelah timur daerah itu. Sejak
saat itu para antropolog menyebut suku Dani untuk seluruh masyarakat yang
tinggal di pegunungan tengah Papua, mulai dari bagian timur Lembah Bidogai
sampai ujung selatan Lembah Baliem. Dalam perkembangannya, nama Dani
dipopulerkan oleh M. V. Strilling pada 1926, ketika ia bersama tim gabungan
Belanda dan Amerika dalam ekspedisi di pegunungan tengah Papua.
Strilling bukanlah orang yang
pertama kali menulis nama suku Dani, tetapi beberapa tahun sebelumnya, Le Roux
dalam catatan perjalanannya ke Puncak Cartenz, menyebut masyarakat di sebelah
timur Suku Moni adalah suku Dani. "Sejak dibukanya Kota Wamena pada tahun
1956, banyak orang dari Mamberamo Tengah bermigrasi ke Kota Wamena. Sejak itu,
masyarakat yang bermigrasi ke Wamena mulai menyebut dirinya Lani,” katanya.
Lanjut Hari, mungkin saja
penyebutan ini untuk membedakan diri dari orang Lembah Baliem, yang mereka
namai Dani. Padahal masyarakat dari Baliem tidak menamakan diri demikian. "Masyarakat
di Baliem lebih memilih nama Hubula dan Wio yang
berarti orang atau masyarakat yang tinggal di lembah,” Hari menambahkan.
Dengan mengetahui mengenai suku
tersebut semoga kita semua dapat memetic poin penting mengenai toleransi dari
apa yang mereka sudah lakukan selama ini demi menciptakan kerukunan dan
keseimbangan hidup bermasyarakat.
makasih sharingnya Supplier batubara | Jual Batubara | Pemasok batubara Jawa timur | Kontraktor piping
BalasHapus