Indonesia dari sabang hingga Merauke tersebar tradisi – tradisi yang hingga saat ini masih dipercaya dan digunakan oleh masyarakat. Tradisi – tradisi tersebut sudah selayaknya kita pelajari sebagai bentuk menambah wawasan kita sehingga kita menjadi insan yang berpendidikan secara baik dan luas wawasannya.
Kali ini di Pulau Jawa terdapat tradisi Cekok Jamu. Orang tua yang memiliki bayi atau balita pasti sudah sering dihadapkan dengan kondisi anak yang pilih-pilih makanan atau bahkan enggan untuk makan. Kondisi ini sering membuat orang tua cemas karena takut tumbuh kembang anak jadi terhambat. Ada banyak cara untuk mengatasi masalah anak susah makan, salah satunya yaitu 'cekok' jamu. Cekok jamu merupakan tradisi yang sudah melekat di masyarakat Jawa, dan jadi andalan warga Yogyakarta bahkan di era modern seperti saat ini, karena terbuat dari bahan-bahan alami. Dalam bahasa Indonesia, 'cekok' berarti mengucurkan jamu langsung ke dalam mulut. Penjual jamu asal Kiringan, Bantul, Murjiwati menjelaskan tradisi cekok jamu untuk anak dan balita sudah diwariskan turun-temurun sejak zaman dahulu, sekitar tahun 1970. "Sejak dulu udah ada, waktu kecil dicekoki sama si mbah. Itu udah ada, tradisi, warisan juga. Sejak kecil udah dicekoki sampai nangis," katanya.
Selama dicekok, anak biasanya akan dipegangi oleh orang tua agar tidak
berontak. Sementara mbok penjual jamu sudah bersiap untuk menjejalkan ramuan
jamu yang sudah diracik dan dibungkus kain ke dalam mulut anak.
Meski sering membuat anak menangis, tapi para orang tua nampak tidak kapok dan
tetap menjadikan cekok jamu sebagai alternatif saat anaknya susah makan. Sebab,
tradisi ini diyakini ampuh mengembalikan dan menambah nafsu makan anak.
"Jamu untuk anak-anak biar mau
makan. Untuk menambah nafsu makan, biar nafsu makannya ada," terangnya.
Tidak hanya itu saja, ia mengatakan cekok jamu juga bisa meningkatkan sistem
kekebalan sehingga anak lebih kuat dan tidak mudah terserang penyakit.
"Untuk kekebalan. Nggak gampang masuk angin. Anaknya sering masuk angin,
kalau dikasih minum jamu biasanya menambah kekuatan. Perutnya juga enak,"
tuturnya.
Meski dipercaya ampuh tingkatkan nafsu makan, Murjiwati tidak menganjurkan
orang tua mencekoki anak setiap hari. Menurutnya, cekok jamu cukup dilakukan
dua kali dalam seminggu dan diberikan pada anak berusia di atas 6 bulan yang
sudah dikenalkan dengan MPASI. Hal ini mempertimbangkan kesiapan sistem
pencernaan anak untuk menerima makanan dan minuman di luar ASI. "Kalau
minum cekok paling dua hari sekali. Kalau setiap hari masih kecil nanti nggak
mau. Atau satu minggu dua kali aja udah (cukup)," ungkapnya. "Kalau
udah 7 bulan atau 6 bulan bisa (dicekoki jamu), kalau udah di ndulang, dikasih
makan (MPASI). Kalau belum, kasian nanti ususnya sakit," imbuhnya.
Lebih lanjut, Murjiwati menjelaskan rempah-rempah yang terkandung dalam ramuan
tradisional untuk cekok jamu. Adapun rempah tersebut terdiri dari temu ireng,
temulawak, kunyit, daun pepaya, dan brambang puyang atau cabai dan puyang
(lempuyang).
Ari (31), salah seorang pembeli jamu cekok mengatakan, dirinya memberikan jamu
cekok agar anak mau makan. Sekaligus mengatasi penyakit batuk dan pilek.
"Buat penambah nafsu makan, terus bisa buat batuk, pilek," ujarnya.
Selain Ari, ada pula Isnaini (28), ibu rumah tangga yang cukup sering memberikan
jamu cekok untuk buah hatinya yang kini berusia 9 bulan. "Biar nafsu
makan, biar sehat. Yo nggak sih, paling (cekoki jamu) seminggu sekali,"
tuturnya.
Sebagai informasi, jamu di Bantul juga masuk dalam klaster UMKM binaan Bank
Rakyat Indonesia (BRI). Manager Bisnis Mikro BRI Bantul, Joko Wahyudiarto
mengatakan, pihaknya telah memberikan bantuan berupa mesin penggiling dan
genset untuk meningkatkan produktivitas jamu di Kiringan, Bantul, Yogyakarta.
Dan akan menyalurkan bantuan lain, baik berupa bantuan CSR ataupun pelatihan.
"Dalam waktu dekat BRI akan memberikan bantuan CSR juga berupa peralatan
pembuatan jamu berupa parut dan lain-lain sehingga pengembangan bisnis dari
jamu Kiringan bisa terangkat. Bahkan, wacana ke depan kita harapkan ada semacam
sekolah untuk belajar pembuatan jamu sehingga jamu akan lebih dikenal dan
merakyat," pungkasnya.
Dengan mengenal tradisi
ini kita patut bangga akan keanekaragaman yang ada di Indonesia. Hingga saat
ini masih banyak yang melakukan tradisi tersebut walaupun diterpa berbagai
pengaruh dari luar. Sudah selayaknya kita sebagai warga negara Indonesia turut
membantu menjaga tradisi tersebut sesuai kapasitas masing-masing sekalipun
tidak turut serta secara langsung mengikuti tradisi tersebut
Komentar
Posting Komentar